Berdasarkan ketentuan dalam UU Kesehatan RI, dapat disimpulkan bahwa korban permerkosaan merupakan pengecualian dari larangan aborsi. Hal ini juga diatur dalam Pasal 31 ayat (1) PP 61/2014 bahwa tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat pemerkosaan.
Lantas, berapa usia kehamilan paling lama dapat dilakukan aborsi atas indikasi kehamilan akibat pemerkosaan? Dalam UU Kesehatan yang baru tidak diatur mengenai batasan maksimal usia kehamilan yang dapat dilakukan tindakan aborsi akibat pemerkosaaan.
Secara historis, batasan maksimal usia kehamilan untuk aborsi akibat pemerkosaan diatur dalam Pasal 76 UU 36/2009 yaitu sebelum kehamilan berumur 6 minggu. Namun, setelah diundangkannya UU 17/2023 atau UU Kesehatan yang baru, tidak diatur lagi mengenai batasan maksimal usia kehamilan untuk aborsi akibat perkosaan.
Namun demikian, dalam PP 61/2014 diatur lebih teknis bahwa untuk tindakan aborsi akibat pemerkosaan, hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Lebih lanjut, kehamilan akibat pemerkosaan harus dibuktikan dengan:
usia kehamilan sesuai dengan kejadian pemerkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain seperti dokter spesialis psikiatri, forensik, dan pekerja sosial, mengenai adanya dugaan pemerkosaan.
Tindakan aborsi karena kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor.
Jadi, apakah boleh aborsi untuk korban pemerkosaan? Jawabannya diperbolehkan. PR sebagai korban pemerkosaan pada dasarnya dapat melakukan aborsi sepanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dijelaskan di atas. Akan tetapi, jika tindakan aborsi tersebut akan dilakukan pada usia kehamilan yang telah mencapai 4 bulan (16 minggu), maka hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam PP 61/2014.
Kami menyarankan agar PR terlebih dahulu melaporkan kejadian perkosaan tersebut kepada kepolisian. Adapun terkait dengan kehamilannya, PR dapat mengkonsultasikan hal tersebut kepada tenaga medis.
Hak Anak dalam Kandungan untuk Hidup
Pada dasarnya hak untuk hidup adalah salah satu hak asasi manusia yang dilindungi dalam konstitusi sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 28A UUD 1945.
Lebih lanjut, dalam Pasal 4 UU Perlindungan Anak disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Adapun anak yang dimaksud di sini adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Selain itu, dalam Pasal 52 ayat (2) UU HAM disebutkan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Namun demikian, dalam hal ini selaku korban tindak pidana pemerkosaan perlu mendapatkan perlindungan hukum. Sehingga, ketentuan yang berlaku padanya adalah Pasal 60 UU Kesehatan. Dalam rangka melaksanakan perlindungan tersebut, selaku korban pemerkosaan diberikan hak untuk melakukan aborsi dengan cara sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya UU kesehatan, menipiskan keresahan para orang tua korban, dan meminimkan jumlah anak tanpa ayah, juga menjauhkan dari hal hal yang tidak diinginkan kepada para korban pemerkosaan.
No comment